Merayakan 10.958 Hari Menjadi Manusia: Ocehan yang Nggak Penting-Penting Amat
"Last but not least, happy birthday to me, dear myself. I am proud to be me, a man who has my own beliefs."
Nggak kerasa banget ya, tahu-tahu hari ini saya sudah menjadi manusia selama 10.958 hari. Waktu yang berjalan cepat namun padat dan bisa dirasakan dinamikanya. Kalau mengutip istilah populer, sekarang saya sudah punya “kepala tiga”; tapi saya pikir sebutan ini kurang bagus.
Saya lebih suka istilah yang dikenalkan oleh seorang mutual di twitter: menjadi cerberus. Yup, sekarang saya sama seperti anjing penjaga neraka milik Hades yang berkepala tiga itu. Katanya, tiga biji kepala anjing tersebut merepresentasikan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.
Ini menarik karena angka tiga puluh itu unik–terutama jika berbicara dalam konteks umur. Bayangkan, masyarakat menilai orang yang ada di usia ini “terlalu tua untuk menjalani kehidupan, namun terlalu muda untuk mati.”
Singkatnya, saya beneran ada di tengah-tengah.
Atas dasar hal itu, saya pikir akan lebih pas kalau hari ini dirayakan dengan menjawab beberapa pertanyaan yang pernah saya tulis di lima sampai sepuluh tahun terakhir; kemudian sedikit menulis tentang kehidupan saat ini; dan masa depan.
Masa lalu
Tadinya saya ingin menulis tentang bagaimana kehidupan saya di sepuluh tahun pertama dan kedua, tapi setelah dipikir ulang, rasanya terlalu banyak. Jadi mari kita ubah ke beberapa pelajaran yang saya dapatkan pada usia dua puluh sampai 30 tahun.
Cita-cita: Kejar kalau bisa, kalau nggak, yaudah.
Saya pikir semua orang setuju bahwa usia dua puluhan awal lebih banyak diisi oleh idealisme. Idealismenya bisa tentang pekerjaan, pendidikan, keluarga, cara menjalani hidup, percintaan–apapun lah!
Saya juga pernah merasakannya, apalagi di tahun pertama sampai kedua kuliah. Berada di jurusan pendidikan membuat saya bercita-cita menjadi guru. Kala itu, saya merasa sebagai generasi penerus yang memanggul masa depan bangsa dan negara di pundak.
Berat? Nggak sama sekali, malah semangat banget. Apalagi jika melihat kondisi dunia pendidikan yang carut-marut dari hulu sampai ke hilir. Semangat mengajarkan ilmu ke bocil-bocil di sekolah menyala super terang.
Sayang, setelah lulus kuliah idealisme itu terkikis pelan-pelan. Saya mulai banyak menemui kenyataan hidup yang menghalangi mimpi adiluhung cum utopis tadi. Eits, meski begitu idealismenya nggak saya buang sepenuhnya.
Ada masanya saya menganggap diri sendiri sebagai manusia dengan prinsip “idealis-realistis”. Secara singkat, ini tentang pekerjaan dan cara hidup. Saya bisa memilih satu bidang pekerjaan yang sesuai keinginan (idealis), namun jenis pekerjaannya harus yang menjanjikan (realistis).
Masa ini bertahan cukup lama, karena tiga tahun lalu saya pernah bertanya dalam tulisan ini: “apakah saya masih berusaha mengejar cita-cita yang terakhir dalam lima atau sepuluh tahun kemudian?”
Jawabannya sudah saya dapatkan sekarang: iya dan nggak. Iya saya akan tetap mengusahakan cita-cita itu, tapi nggak harus dengan idealisme yang sama seperti dulu. Karena sebenarnya cita-cita itu boleh dikejar kalau bisa, kalau nggak, yaudah nggak masalah juga.
Teman: kegiatan jual-beli manfaat antara manusia
Kalau bicara soal teman, saya sebenarnya nggak terlalu ahli, sih. Karena saya seorang Scorpio, dan darah scorpio nggak cocok untuk berteman dengan adat timur.
Ini serius.
Pertemanan dalam adat timur itu ribet plus penuh kebohongan. Jangankan mengkritik langsung, beda opini saja bisa berubah jadi debat kusir lalu berakhir di pertengkaran–apalagi kalau beda opininya saat ngomongin politik. Ah udah, selesai lah itu pertemanan.
Pertemanan seperti itu menuntut kita untuk bermuka dua. Kalau ada orangnya, berkelakuan baik seperti nggak ada masalah. Begitu orangnya pulang, langsung diomongin.
Begitu juga kalau lagi sebel atau marah. Sebisa mungkin jangan di-ekspresikan karena bisa bikin retak hubungan pertemanan. Padahal mah, aing rudet anyiiing ku sia! wkwkwk
Saya–dan mungkin temen-temen scorpio yang lain–nggak bisa kalau harus bermuka dua. Sekali benci, yaudah benci aja. Apa itu pura-pura baik? Kelakuan orangnya nyebelin gitu, kenapa harus sok baik?
Inilah alasan yang jadi alasan utama saya menganggap pertemanan–secara general–adalah kegiatan jual beli manfaat antara manusia. Yes, it indeed is transactional.
Makin banyak manfaat yang ditawarkan, makin banyak orang yang mengaku teman. Begitupun sebaliknya. Biasanya manfaat ini dibagi jadi empat jenis: waktu, tenaga, uang, dan popularitas.
Kalau kamu bisa memberikan semuanya, saya yakin kamu bakal punya banyak teman. Tapi kalau kamu cuma bisa menawarkan satu dari empat hal di atas kemungkinan besar kamu bakal punya sedikit teman.
Memang ada pengecualian, beberapa orang berhasil membangun hubungan pertemanan yang transaksional. Saya termasuk salah satunya. Cuma perlu diingat juga, prosesnya nggak muda, seleksinya pun lama.
Quarter life crisis: seberat apapun kamu pasti akan menemukan jawabannya
Dalam tulisan ini saya menyebut quarter life crisi sebagai “fase pencarian jati diri jilid 2.” Sebutan itu muncul bukan tanpa alasan.
Di usia 25 tahun, banyak sekali pertanyaan tentang hidup yang muncul. Saking banyaknya, saya sampai kebingungan sendiri. Persis seperti seorang remaja yang mencoba banyak hal demi mendapatkan jawaban dari pertanyaan “siapa saya?”
Bedanya, di fase ini pertanyaan yang muncul bukan tentang “siapa” lagi, melainkan “apakah hidup yang saya jalani sudah benar?” atau “apakah jalan yang saya pilih nggak salah?” atau “bagaimana kalau keputusan yang saya ambil ternyata keliru?” atau “bagaimana caranya menjadi manusia yang baik?” dan masih banyak lagi.
Satu hal yang saya pelajari setelah melewati masa ini, ternyata semua pertanyaan itu pada akhirnya akan terjawab dengan sendirinya. Caranya bagaimana? Ya dengan terus maju, bahkan kalau harus ngesot sekalipun.
Sebab dengan terus maju, ada banyak hal yang saya temukan dan saya belajar lebih jauh tentang hidup. Selama kamu punya nilai yang bisa dipegang kuat, jawaban dari semua pertanyaan itu akan kamu dapatkan sendiri–cepat atau lambat.
Hanya saja, hati-hati saat melangkah karena quarter life crisis itu bisa jadi sangat berbahaya. Bukan karena pertanyaannya berat, tapi kamu dituntut untuk terus hidup dan berfungsi secara “normal”.
Cinta: Jodoh adalah tentang penerimaan dan toleransi
Cinta masa remaja adalah cinta yang paling indah. Ya atau tidaknya cuma ditentukan oleh tampang, gengsi, isi dompet, dan perasaan.
Anehnya, cinta setelah dewasa berubah menjadi tampang, kebiasaan, sifat, keluarga, budaya, dan ideologi di permukaannya. Semakin ke dalam, indikatornya nambah lagi karena ada penerimaan dan toleransi yang perlu dipertimbangkan.
Semua hal yang ada di permukaan tadi, kalau bisa ditoleransi, cinta akan berubah menjadi jodoh. Begitupun sebaliknya.
Nah, yang paling anjing, rumus itu bisa patah kalau ada perbedaan pandangan dalam keluarga dan budaya.
Dua orang manusia bisa saling mencintai tapi harus saling merelakan gara-gara perbedaan status sosial, ekonomi, atau agama. Kalau hal ini terjadi, yang menunggu cuma satu hal: kekosongan.
Masa sekarang
Huah! Tiga puluh tahun juga akhirnya! Apa yang mau saya lakukan sekarang? Mmmmm…. sejauh ini belum ada niat besar yang pengin saya wujudkan, sih.
Nikah? Ada kok keinginan ke situ, cuma efek setelah “penolakan itu” masih belum hilang sepenuhnya. Jadi pending aja dulu kayaknya. Mau fokus membuang insecurities yang kadang muncul tiba-tiba.
Kerja? Alhamdulillah sekarang punya kerjaan yang bisa menjadi “identitas sosial”. Buat tahun ini, saya masih pengin memanjakan diri dulu. Setelah itu, bisa fokus menyicil kebutuhan dan keinginan cukup besar yang sempat tertunda dulu.
Hidup–in general? Masih aman, kok. Saya sadar ini bukan kehidupan terbaik untuk ukuran “middle-aged man” di Indonesia. Tapi saya pikir ini juga nggak buruk-buruk amat, kok. Bisa jadi, kehidupan ini diinginkan oleh orang di sekitar saya tanpa saya ketahui.
Masa Depan
Kalau membahas masa depan, saya nggak bisa terlalu banyak mengoceh, sih. Sejak kecil, saya nggak biasa menyusun rencana masa depan. Terlalu banyak halangan yang bisa membuat rencana itu gagal.
Makanya dulu kalau ada pertanyaan “apa rencana kamu lima tahun mendatang?” saat interview, saya selalu mengarang bebas. Yang penting kelihatan saya punya motivasi dan ambisi wkwkwk
Kecuali kalau “masa depan” di sini konteksnya masih dalam hitungan kurang dari satu tahun. Dalam dua bulan ke depan, misalnya, saya punya rencana mau belajar excel, marketing, SEO, dan Web3–insyaallah.
Tahun depan, pengin bisnis lagi yang sustainable. Kecil-kecilan pun gapapa, yang penting penghasilannya ada terus. Nggak perlu gede lah, yang penting cukup buat nambahin gaji dari UMR Priangan Timur ke UMR Jakarta wkwkwk
Last but not least, happy birthday to me, dear myself. I am proud to be me, a man who has my own beliefs.