Oke, sebelum mulai melenceng jauh, saya bakal bahas buku pertama langsung. Buku ini—sesuai judulnya—isinya cerita pengalaman penulis ngajar di dua buah SD selama kurang lebih tiga tahun. Dia seorang sarjana jurusan PGSD yang berani kerja sesuai dengan passion pret
Tau sendiri lah ya, kebanyakan sarjana pendidikan itu pada akhirnya kerja jadi apa. Ehm... nggak lagi ngomongin orang lain, ini mah ngomongin saya sendiri. Tapi ada beberapa temen saya tuh, sarjana pendidikan bahasa inggris yang kerja di bank, usaha sendiri, freelance, jualan, atau nganggur. wkwkwk.
Makanya, Edot itu termasuk spesies spesial.
Pengalaman ngajar di dua SD ditulis di blog pribadi Edot yang kemudian "ditemukan" oleh salah satu tim dari Buku Mojok dan 23 tulisan di dalamnya berubah menjadi buku. Lantas, gimana cerita-cerita itu menurut saya?
Saya pikir, nggak semua cerita Edot spesial, nggak bikin ketawa atau sedih. Tapi sebagai anak pendidikan yang pernah praktek ngajar di sekolah langsung, setiap judul tulisannya sukses bikin saya kangen suasana sekolah.
Apalagi cerita di sekolah pertama yang menurut penulisnya sendiri sungguh sangat mengkhawatirkan—lokasinya jauh, muridnya sedikit, dan nggak bertahan lama. Yes, persis sekolah-sekolah terbelakang yang ada di pedalaman desa.
Di sekolah ini, Edot menjadi wali kelas kelas tiga yang kreatif dan tahan banting. Dia berhasil menguasai daya pikir kreatif anak-anaknya yang sungguh luar biasa. Beberapa muridnya ada yang sering bikin jawaban ngaco, nggak kunjung ngerti, sampai yang banyak nanya.
Selama membaca cerita Edot di SD yang pertama ini, pikiran saya jalan-jalan ke 17 tahun yang lalu waktu saya kelas tiga SD. Meski statusnya sekolah negeri, tapi saat itu kondisinya cukup memprihatinkan.
Pertama, lantai belum pake keramik, masih ubin yang warnanya item. Untung di kelas tiga saya belum disuruh bersihin kelas sama bu guru. Karena buat ngepel itu ubin, harus pake serabut kelapa biar kinclong.
Kedua, kelakuan saya nggak beda jauh dengan muridnya Edot. Nyebelin dan (kalau nggak salah) lumayan bego. Apalagi tulisan saya persis ceker ayam yang selalu dimarahin sama wali kelas.
Ketiga, nggak ada. Wkwkwk.
Setelah dua tahun (apa tiga tahun ya, saya malas buka bukunya lagi. Wkwkwk) sekolah tempat Edot ngajar harus di-merger dengan sekolah lain karena kekurangan murid. Dia sendiri akhirnya pindah ke sekolah swasta yang lebih bagus, elit, tapi cukup melelahkan.
Kisahnya di sini nggak beda jauh sama di sekolah sebelumnya. Edot juga masih jadi wali kelas tiga. Jadi ya gitu aja, sih.
Namun di bagian ini, saya meng-highlight beberapa hal. Yang paling saya inget tentang Edot yang nyesel bikin muridnya nggak naik kelas.
Si murid, ternyata bilang ke orang tuanya pengin berhenti sekolah soalnya susah. Dan Edot sadar, dia secara nggak langsung menambah beban muridnya. Ya meskipun saya tahu alasan Edot—yang beranggaoan muridnya bakal keteteran di kelas empat—cukup masuk akal. Guru, kan, lebih bisa menilai kemampuan muridnya meski bisa keliru juga.
Tulisan pemungkas di buku ini "Diary Teacher Keder" juga jadi favorit saya. Di situ Edot bercerita tentang dia yang sering ngerasa keder jadi guru, bingung ngadepin anak muridnya di moment tertentu.
Hal yang sama pernah saya rasakan 5 tahun yang lalu saat praktek ngajar di sekolah. Emang, sih, murid-murid menghormati saya meski cuma guru boongan tapi namanya anak remaja ya, kelakuannya pasti ada-ada aja.
Saya pernah merasa awkward ketika murid diam 100% setelah dua orang yang berantem di bangku belakang saya marahin. Saya juga pernah menyerah menghadapi kelas yang isinya murid ajaib semua. Nggak bis diem, kompak berisik teruuus.
Setelah membaca kisah Edot dan memutar kenangan waktu praktek ngajar, saya pikir jadi guru adalah pembelajaran seumur hidup. Kalau sekarang saya jadi guru, mungkin masih bisa relate dengan kehidupan murid-murdinya.
Tapi 30 tahun ke depan, apa saya masih bisa relate dengan kehidupan anaknya generasi alfa atau beta? Who knows, kan. Toh saya juga nggak lagi jadi guru. Hehehe
Namun, setelah baca buku Diary Teacher Keder, saya kok jadi kangen sekolah ya 🙃😐