Tak Ada Lagi Kita dan Aku Mulai Bisa Menerimanya
Setelah menulis tentang hari jadi kita tiga Mei kemarin, aku tak pernah berpikir akan mengisi blog ini dengan curhatanku sekali lagi. Seingatku, tiga Mei kemarin aku menulis dengan perasaan tenang.
Tanpa sesak di dada apalagi pikiran yang tiba-tiba memutar kenangan kita. Tapi aku memang bukan laki-laki yang berpegang teguh pada prinsip hidup. Aku bisa dengan mudah membiarkanmu kembali memenuhi hidupku sekali lagi.
Padahal aku tahu, yang kulakukan hanya akan membuatku semakin sakit. Yah, cinta kadang begitu. Mengobati sesaat sebelum menggerogoti hidupmu sepenuhnya, pelan-pelan.
Aku jatuh untuk yang kedua kalinya. Sebelumnya, butuh empat bulan untuk menerima alasanmu dan merelakanmu.
Aku tidak tahu butuh waktu berapa lama lagi agar aku bisa merelakanmu (lagi) sekarang.
Banyak yang menyarankanku mencari penggantimu. Mereka bilang, tak perlu mencari yang serius.
Cukup yang bisa menemaniku dan mengalihkan pikiranku darimu. Tapi aku sudah tidak mau menyia-nyiakan waktu wanita lain.
Aku tidak mau menjadi laki-laki yang hanya menyia-nyiakan waktu seorang wanita. Apalagi jika wanita tersebut seumuran denganku.
Jujur saja, aku takut jika harus menjalin hubungan dalam waktu dekat. Kehilanganmu mengajarkan bahwa jika tangan belum bisa menggenggam dengan erat, lebih baik biarkan dia bebas.
Kupikir aku sudah cukup sedih melihatmu menyesal membuang waktu selama sepuluh tahun. Hanya untuk disia-siakan olehku.
Aku pernah mengatakan bahwa aku adalah manusia paling bodoh yang pernah hidup. Tapi teman baikku memarahiku. Katanya, perpisahan memang seperti itu.
Dia bilang, tak ada gunanya aku bergelut dengan penyesalan. Bahkan dia mengatakan "anggap saja mantanmu bukan untukmu". Sakit, tapi sepertinya begitu kenyatannya.
Seminggu belakangan aku selalu meminta pada-Nya untuk menunjukan takdir kita secepat mungkin.
Jika berjodoh, lancarkan semuanya; jika tidak, tolong kasih lihat secepatnya. Tolong beri aku kekuatan dan kesabaran untuk mengikhlaskanmu sekali lagi. Melihat keadaan kita sekarang, kupikir Dia telah memberikan jawaban untuk doaku.
Meskipun bukan jawaban yang aku inginkan dan rasanya belum final.
Tapi sekarang aku sudah lebih bisa menerima jika pada akhirnya kita tak bisa bersama. Hanya saja, seperti yang aku bilang padamu pagi tadi, aku ingin berusaha sekali lagi saja.
Berusaha memperbaiki diriku sendiri. Jika pada akhirnya harus kalah, setidaknya aku kalah setelah berjuang. Bukan berjuang setelah kalah.
Ah, aku mulai bisa mengambil pelajaran dari perpisahan kita. Kabar yang baik, bukan?
Hari ini aku mengurus persyaratan pendaftaran CPNS. Kamu bagaimana? Sudahkah menyelesaikan pendaftarannya? Semoga beruntung ya, Put...
Jujur, aku ingin mengetahui apa yang ada di pikiranmu saat kamu memutuskan untuk menyerah dan berhenti memperjuangkan kita. Aku ingin tahu, bagaimana sulitnya kamu melepaskan laki-laki bodoh yang sudah terlanjur kamu sayangi ini?
Aku juga ingin tahu, bagaimana caranya kamu berdamai dengan ketergantunganmu padaku. Mungin ada hal yang bisa kupelajari darimu.
Neng...
Hari ini, aku tak bisa melupakan ekspresi wajahmu saat kita membicarakan tentang lingkunganmu yang toxic.
Aku ingat, aku melihat tatapan mata yang kosong, wajah yang kelelahan, dan hembusan nafas yang panjang. Biar kutebak, saat itu kamu sudah tak ingin melanjutkan pembicaraan kita, kan?
Put, kamu adalah wanita paling baik yang pernah kutemui. Tetap jadi seperti itu, ya? Aku menyukai Putri yang seperti itu.
Terima kasih untuk semuanya. Selamat malam dan kuharap lagu yang kamu berikan padaku, masih memiliki arti yang sama untuk kita.