When You're Gone #8: The Both of Us
Kemarin kamu menanyakan tentang apa fungsi kehadiranmu dalam hidupku. “Kamu Cuma pengen aku ada di sini, menemanimu. Kalau gitu, fungsi aku apa?” Begitu tepatnya pertanyaanmu, ya? Dan aku hanya bisa diam saat itu sampai ada blank moment di antara kita. Aku memang sering begitu, ya?
Maaf hehehe
Aku baru bisa menjawab di malam hari, itu pun lewat tulisan di blog—yang aku sendiri tak yakin kamu akan membacanya. Dan sekarang, aku ingin membicarakannya lagi.
Tidak ada gunanya memang, karena kita pun sudah tidak bisa bersama lagi, aku hanya ingin membiacarakannya. Semoga penjelasan ini bisa membuatmu, setidaknya, mengerti pemikiranku.
Harus kuakui, aku memang laki-laki egois yang menyedihkan dan juga jahat. Bagaimana tidak? Selama dua tahun kita mencoba membangun kembali hubungan yang sudah hambar, aku dengan mudahnya meminta kamu mengerti dan menerima keinginanku sendiri.
Aku terlalu focus pada diri sendiri, padahal saat itu seharusnya kita bisa memperbaiki hubungan kita, ya? Aku tau kamu menginginkan hal ini kemarin. Jujur saja, selama dua tahun aku memang dingin padamu.
Setelah perpisahan kita, aku baru menyadari apa sebenarnya arti kehadiranmu dalam hidupku.
Kita adalah dua manusia yang menghabiskan setengah dari hidup kita bersama-sama. Karena itu, wajar jika kita sudah menyatu padu menjadi satu eksistensi yang tidak bisa dipisahkan.
Aku ada karena kamu ada begitupun sebaliknya. Bayangkan kita seperti sepasang kaki. Karena terlalu sering bersama, kita sangat terbiasa dengan kehadiran satu sama lain. Namun, karena alasan tertentu kita tidak bisa bersatu.
Kita hanya bersama—melangkah, jatuh, berlari, lompat bersama-sama.
Dan saat salah satu dari kita menghilang, apa kira-kira yang terjadi? Baik aku maupun kamu akan kesulitan bergerak. Karena kamu menjadi penyeimbangku, dan aku menjadi penyeimbangmu.
Aku memang bisa bergerak, tapi butuh energi yang tidak sedikit untuk melakukannya. Aku harus memikirkan bagaimana caranya untuk bergerak tanpa penyeimbang.
Apakah aku harus menggelinding, membuat lompatan kecil, atau mencari hal lain yang bisa aku jadikan pegangan? Aku tidak tahu, dan akhirnya harus mencobanya satu-satu.
Dan aku yakin kamu juga merasakannya.
Bedanya, kamu sudah siap dengan keadaan itu, sedangkan aku tidak. Kamu mungkin sudah bisa memilih akan menggunakan cara yang mana untuk bergerak. Atau bahkan kamu sudah menemukannya?
Aku tidak tahu. Yang jelas kamu memang lebih kuat daripada aku.
Dulu saat bersamamu, aku merasa bisa menaklukan hidup yang keras ini. Aku bisa menegakan kepalaku dengan yakin.
Aku berani menyusun rencana-rencana yang sudah aku tau bakal terjal jalannya. Aku merasa kuat saat bersamamu.
Aku merasa aku adalah manusia paling kuat, menjungjung tinggi idealism ku sendiri dan menjadikannya senjara untuk melawan siapa saja.
Sekarang setelah kamu menghilang, aku sadar bahwa aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah manusia lemah yang tidak bisa melakukan apa-apa.
Aku bahkan mulai meragukan mimpi-mimpiku. Aku takut menghadapi semua kesulitan yang ada di depanku. Aku jatuh, dan kesulitan mencari cara untuk bangkit lagi.
Tadinya aku tidak ingin mengeluh seperti ini, karena kamu memang tidak punya tanggung jawab apa pun dalam hidupku.
Tapi kupikir, aku memang tidak sekuat yang aku bayangkan untuk menanggung semua ini. Setidaknya, dengan menuliskannya, aku bisa membagikan kesulitan ini dengan siapa pun yang membaca tulisan ini.
Jika nanti kamu merasa insecure dengan keadaanmu, tolong ingat ini: kamu yang menurutmu lemah itu adalah kekuatan bagiku.
Selamat malam, Neng. Aku sudah mulai bisa menghilangkan
bayanganmu sedikit demi sedikit. Semoga kita berdua baik-baik saja.