When You're Gone #7: Is It The Turnover?
Tak terasa kita sudah dua bulan berpisah dan aku masih merindukanmu.
Hari ini aku memutuskan untuk tidak menghadapi semua emosi yang aku rasakan sendirian. Hari ini aku menceritakan semuanya pada teman baikku.
Sudah dua bulan ini aku menutupi banyak hal dari semua orang. Aku berpikir kita bisa kembali lagi dalam waktu dekat dan teman-temanku tidak perlu tau soal perpisahan kita.
Ternyata hidup tidak berjalan semudah itu.
Hari ini juga aku memberanikan diri menghubungimu lagi. Memohon sedikit keringanan padamu untuk membuka blokiran whatsapp agar kita bisa berbicara.
I was hopeless and useless back then.
Bayangkan, saat bangun tidur, yang aku pikirkan hanya kebodohan diri sendiri dan meratapi perpisahan kita. Aku bahkan tidak punya semangat membikin konten untuk instagram yang sudah jadi pekerjaanku setaun belakangan ini.
Terima kasih karena kamu masih mau memberikan sedikit keringanan untuk ku. Dua jam yang kamu berikan tadi, setidaknya, menyadarkanku tentang satu hal:
Kamu yang sekarang adalah kumpulan dari emosimu selama sepuluh tahun bersamaku.
Dari situ aku mulai bisa berpikir bahwa hanya aku yang menganggap hubungan kita layak untuk dipertahankan.
Itu bukan kesalahanmu dan aku bisa menerima alasan yang kamu berikan tadi. Aku sendiri sudah mulai berani memikirkan diri sendiri.
entang kita, kurasa aku sudah mulai bisa sepakat denganmu.
Aku juga sepertinya mulai bisa berpikir dengan akal sehat lagi. Setelah temanku mengatakan bahwa jalan yang ada untuk ku saat ini hanyalah maju. “
Kamu hancur, ya sudah. Biarkan. Nggak usah repot-repot membangun ulang. Biarin aja. Tumbuhkan Gilang yang baru. Yang jauh lebih baik.”
Ternyata selama dua bulan ini aku gagal memahami bahwa yang bisa membuatku menjadi lebih baik adalah diriku sendiri. Dengan atau tanpamu, aku seharusnya bisa berjalan maju ke depan. Menghadapi semuanya.
Aku masih tetap mencintaimu.
Selamat untuk itu. Doakan aku baik-baik saja dan mampu menerima seperti dirimu.
Sejak dulu—saat kamu disakiti oleh teman yang jadi pacarmu itu—aku selalu merasa ketakutan saat kita berpisah. Aku takut kamu menjalin hubungan dengan laki-laki baru. Aku takut saat tau kamu harus memulai kembali dari awal.
Karena aku tau, kamu selalu memikirkan orang lain daripada dirimu sendiri. Aku takut kamu bertemu dengan laki-laki yang akan memanfaatkan sifatmu ini. Aku takut kamu akan disakiti lagi. Aku juga takut kamu akan lebih menyayangi laki-laki lain.
Aku takut melihat tanganmu digenggam oleh laki-laki lain. Aku tidak bisa membayangkan kamu memberikan pelukanmu untuk laki-laki selain diriku. Sialnya, aku juga tau bahwa aku tidak bisa menjadi laki-laki yang bisa kamu pilih.
Aku tau aku terlalu egois.
Aku tak pernah menyangka berpisah denganmu akan jadi seberat ini. Kehilanganmu mengubah banyak hal dalam hidupku. Aku mulai menanyakan eksistensiku sebagai manusia. Aku mulai menyesali setiap pilihan yang aku ambil.
Aku mulai berpikir untuk mengulang semuanya dari awal dan memperbaiki setiap
kesalahan yang aku buat. Tapi yang terjadi sudah tidak bisa diulang lagi, dan
aku hanya bisa berjalan maju.
Alasan lainnya adalah aku (masih) meyakini bahwa hanya kamu wanita yang mampu menerimaku. Barusan aku membaca thread di twitter yang membicarakan tentang nilai seorang laki-laki di lingkungan.
Si pembuat thread menulis bahwa laki-laki harus memiliki nilai agar diterima oleh lingkungannya. Seorang laki-laki yang tidak memiliki nilai cenderung akan dibuang oleh lingkungan dan kemudian mencari lingkungan lain yang menerimanya.
Dalam kasusku, kamu adalah lingkungan yang menerimaku. Kamu menerima nilai kecil yang aku miliki. Sayangnya kamu tidak menerima balasan yang baik dariku.
Dan pada akhirnya nilai itu tidak bisa membuatmu bertahan. Sekarang, doakan aku agar bisa membuatku bernilai untuk banyak orang.
Doakan aku bisa menjadi laki-laki yang kamu inginkan, dengan atau tanpa kesadaranku.
Dan aku akan terus berdoa kamu diberikan kekuatan untuk menjalani kehidupanmu. Kamu akan dipertemukan dengan laki-laki yang paling baik.
Yang menjadikanmu pusat alam semestanya. Yang membahagiakanmu seperti dia membahagiakan orang tuanya. Yang paling penting, aku berdoa kamu bisa bertemu dengan laki-laki yang berani menemui orang tuamu tanpa memikirkan hal-hal remeh sepertiku.
Aku mulai baik-baik saja dan aku masih merindukanmu.